Meski selama ini banyak dikenal sebagai lagu dolanan anak-anak Jawa, “Sluku-sluku Bathok” ternyata menyimpan makna religius yang dalam. Lagu ini disebut-sebut sebagai salah satu media dakwah yang digunakan oleh Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang berperan penting dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Melalui lagu sederhana ini, nilai-nilai keagamaan disisipkan secara halus dan mudah dicerna oleh masyarakat.
Dalam sejarah dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, para wali menggunakan pendekatan budaya lokal agar ajaran Islam bisa diterima secara lebih terbuka. Sunan Kalijaga dikenal sebagai sosok yang sangat memahami nilai-nilai budaya masyarakat Jawa, sehingga dakwahnya tidak bersifat konfrontatif, melainkan menyentuh hati lewat seni dan tradisi. Salah satu bentuk pendekatan tersebut adalah dengan menyisipkan pesan-pesan spiritual melalui lagu dan tembang seperti “Sluku-sluku Bathok”.
Lirik lagu ini tidak hanya berisi permainan kata yang akrab di telinga anak-anak, tetapi juga mengandung pesan moral dan ajakan religius yang kuat. Misalnya, pada bagian awal lirik terdapat sholawat:
“Allahumma sholli wa sallim ala Sayyidina wa Maulana Muhammadin, Adada ma bi’ilmillahi, sholatan daaimatan bidawami mulkillahi”,
yang berarti pujian dan doa untuk Nabi Muhammad SAW, sebanyak ilmu Allah dan sepanjang kekuasaan-Nya. Ini merupakan bentuk ajakan untuk terus mengingat Nabi dan memperkuat ikatan spiritual.
Selanjutnya, dalam bait:
“Ling-eling siro menungso, temenono anggonmu ngaji, mumpung durung ono malaikat juru pati”,
terdapat pesan mendalam tentang pentingnya belajar agama dan mempersiapkan diri sebelum ajal menjemput. Ini merupakan peringatan lembut agar manusia tidak terlena oleh kehidupan dunia dan tetap memperdalam ilmu agama selama masih diberi kesempatan hidup.
Bagian yang lebih dikenal anak-anak, seperti:
“Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo, si Rama menyang Solo, oleh-olehe payung mutho”,
dalam konteks budaya Jawa bisa dianggap sebagai selingan atau simbolik. Namun, jika ditelaah lebih dalam, kalimat tersebut tetap bisa dikaitkan dengan perjalanan hidup, pemberian (oleh-oleh) sebagai simbol rezeki atau berkah yang dibawa dari perjalanan kehidupan.
Lalu pada bait berikutnya:
“Mak jenthit lolo loba, wong mati ora obah, yen obah medeni bocah, yen urip golekno duit”,
terkandung nasihat mengenai kehidupan dan kematian. Bahwa orang yang sudah mati tidak akan bergerak lagi, dan jika terlihat bergerak justru menakutkan. Maka selama masih hidup, manusia harus bekerja dan mencari nafkah dengan sungguh-sungguh. Pesan ini sejalan dengan ajaran Islam tentang pentingnya bekerja dan hidup secara produktif selama di dunia.
Menariknya, tembang ini disusun sedemikian rupa agar bisa dinyanyikan dengan irama yang ringan dan menyenangkan, sehingga anak-anak pun bisa ikut menyanyikannya tanpa merasa sedang diajarkan hal-hal berat. Inilah kecerdasan para wali dalam berdakwah—mereka tidak memaksa, tetapi menyentuh melalui budaya yang sudah akrab dengan masyarakat.
“Sluku-sluku Bathok” menjadi contoh bagaimana budaya lokal dan ajaran agama bisa berpadu harmonis. Lagu ini tidak hanya hidup sebagai bagian dari permainan tradisional anak, tetapi juga menyimpan nilai-nilai spiritual yang relevan hingga kini. Lewat tembang sederhana ini, pesan-pesan Islam yang lembut dan penuh cinta kasih dapat tersampaikan lintas generasi.
Dengan demikian, meski liriknya terdengar sederhana dan bahkan seperti lagu mainan, “Sluku-sluku Bathok” sebenarnya merupakan warisan budaya sekaligus warisan dakwah yang kaya makna. Lagu ini menunjukkan bahwa dakwah bisa dilakukan dengan cara-cara yang lembut, kreatif, dan penuh kebijaksanaan.