Para produsen minyak sawit bersiap menghadapi kelebihan pasokan setelah Indonesia, produsen terbesar di dunia, memperketat aturan ekspor minyak goreng bekas dan limbah minyak sawit. Kebijakan ini mengurangi permintaan dari perusahaan energi dan transportasi di Eropa yang mengandalkan bahan bakar nabati.
Minyak sawit digunakan dalam berbagai produk, mulai dari cokelat batangan hingga sampo dan biodiesel. Namun, industri ini menghadapi tekanan global karena dampaknya terhadap deforestasi hutan hujan tropis.
Harga minyak sawit di Bursa Malaysia Derivatives, yang menjadi acuan global, turun dari rekor tertinggi dalam 30 bulan lebih dari RM5.150 (setara $1.167) per ton pada Desember menjadi di bawah RM4.200 per ton pada Januari. Penurunan ini terjadi setelah Indonesia membatasi ekspor minyak goreng bekas dan limbah minyak sawit, yang sebelumnya banyak digunakan untuk biofuel di Eropa.
Kelebihan Pasokan dan Dampaknya pada Harga
Pembatasan ekspor memicu kekhawatiran akan melonjaknya pasokan minyak sawit murni di pasar domestik. Sebelumnya, produsen Indonesia menjual kelebihan pasokan mereka ke perusahaan-perusahaan di Eropa yang memproduksi biodiesel.
“Larangan ini berdampak pada harga karena secara tiba-tiba pasokan minyak sawit di dalam negeri meningkat pesat,” kata Mohd Haris Mohd Arshad, COO SD Guthrie, produsen minyak sawit asal Malaysia yang sebelumnya dikenal sebagai Sime Darby Plantation.
Sebelum larangan ini, minyak sawit sering dicampur dengan minyak goreng bekas dan diekspor ke Eropa melalui perantara. Namun, aturan baru ini menutup celah tersebut.
Dampak Lebih Luas terhadap Pasar Global
Kebijakan ini menambah tekanan pada pasar yang telah beradaptasi dengan kebijakan Uni Eropa empat tahun lalu untuk membatasi penggunaan minyak sawit dari lahan yang mengalami deforestasi. Berbagai industri, termasuk perusahaan minyak seperti Shell dan BP, produsen otomotif seperti Ford dan Volkswagen, serta maskapai penerbangan seperti Lufthansa, mengandalkan biofuel dalam operasional mereka.
Untuk mengurangi penggunaan minyak sawit murni dari lahan terdeforestasi, Uni Eropa menawarkan insentif kepada konsumen besar agar menggunakan minyak goreng bekas sebagai bahan baku biofuel. Namun, beberapa eksportir Asia diketahui mengubah label minyak sawit murni menjadi minyak goreng bekas atau mencampurnya dengan minyak baru untuk menghindari pembatasan.
Laporan dari kelompok lingkungan Transport & Environment pada Juni lalu menunjukkan bahwa Tiongkok dan Malaysia mengekspor minyak goreng bekas ke Eropa dalam jumlah yang jauh melebihi kapasitas produksinya. Data menunjukkan bahwa Malaysia mengekspor tiga kali lipat lebih banyak minyak goreng bekas dibandingkan yang dikumpulkan di dalam negeri.
Tren Ekspor dan Kebijakan Baru Indonesia
Kementerian Perdagangan Indonesia mencatat bahwa ekspor residu minyak sawit dan minyak goreng bekas meningkat 21% antara 2019 dan 2023. Sebaliknya, ekspor minyak sawit mentah turun 20% pada periode yang sama.
Menurut Menteri Perdagangan Indonesia, Budi Santoso, data ini menunjukkan bahwa sebagian besar ekspor minyak goreng bekas dan residu minyak sawit bukan hanya berasal dari limbah produksi, tetapi juga merupakan campuran dengan minyak sawit murni. Hal inilah yang menjadi alasan utama diberlakukannya pembatasan ekspor pada awal tahun ini.
“Permintaan global terhadap bahan baku limbah, seperti minyak goreng bekas, meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir karena persyaratan lingkungan dan keberlanjutan di negara-negara pengimpor,” kata Santoso.
Dinamika Harga dan Proyeksi Pasar
Setelah sempat turun, harga minyak sawit kembali menguat dalam beberapa minggu terakhir, naik menjadi RM4.700 per ton. Kenaikan ini terjadi setelah Malaysia, produsen terbesar kedua di dunia, mengumumkan bahwa produksi tahun ini akan terdampak oleh curah hujan tinggi di Asia Tenggara.
Indonesia berencana mengalihkan kelebihan pasokan ke pasar domestik dan telah meningkatkan mandat campuran biodiesel dari 35% menjadi 40% minyak sawit dalam bahan bakar nabati.
Analis Rabobank, Oscar Tjakra, memperkirakan kebijakan ini akan membantu menstabilkan harga setelah koreksi besar pada Januari. Selain itu, terbatasnya produksi tahunan di Indonesia dan Malaysia dapat mendorong harga naik lebih lanjut.
Ia juga memperkirakan bahwa pasar minyak sawit global akan mengalami defisit hingga Oktober, yang dianggap sebagai akhir siklus tahunan industri ini untuk produksi, panen, dan distribusi minyak sawit.
Namun, Arshad dari SD Guthrie meragukan apakah konsumen Indonesia akan menerima harga lebih tinggi untuk biodiesel berbasis minyak sawit dibandingkan dengan solar biasa. Ia juga menyatakan bahwa pemerintah mungkin tidak memiliki cukup dana untuk memberikan subsidi yang diperlukan.
Di sisi lain, produsen juga mengkhawatirkan bahwa pasar global bisa menghadapi tekanan lebih lanjut yang dapat menekan harga lebih rendah lagi. Kebijakan pajak baru di Amerika Serikat yang diperkenalkan di era pemerintahan Biden bertujuan untuk meningkatkan produksi bahan bakar ramah lingkungan bagi sektor transportasi. Kebijakan ini berpotensi mengurangi permintaan global terhadap minyak sawit sebagai bahan baku biofuel.