Pemerintah Indonesia terus menggalakkan kebijakan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah komoditas dalam negeri. Namun, implementasi di lapangan menunjukkan hasil yang berbeda-beda antar sektor. Di satu sisi, industri bauksit menghadapi tantangan serius akibat kesenjangan antara pasokan dan permintaan domestik. Di sisi lain, pemerintah kini menyiapkan dorongan besar untuk hilirisasi di sektor pertanian dan perkebunan dengan janji keuntungan ekonomi yang fantastis.
Pasar Bauksit: Menanti Kesiapan Smelter di Tengah Pasokan Melimpah
Sektor bauksit Indonesia saat ini berada dalam fase transisi yang kritis. Implementasi larangan ekspor pada tahun 2023 berhasil mengalihkan pasokan bijih bauksit dari pasar internasional ke pengolahan domestik. Akan tetapi, pembangunan smelter alumina sebagai industri hilirnya berjalan lebih lambat dari yang diperkirakan. Kondisi ini menciptakan situasi di mana pasokan bauksit yang disetujui dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) jauh melampaui kapasitas operasional smelter yang ada.
Asesmen Sisi Pasokan
Sektor pertambangan bauksit telah menunjukkan adaptasi yang signifikan dalam merespons realitas pasar baru. Analisis industri menunjukkan kemajuan besar dalam adaptasi regulasi, dengan tingkat produksi yang disesuaikan secara strategis dengan keterbatasan permintaan domestik.
-
Kapasitas produksi yang disetujui RKAB untuk 2025: 12-15 juta ton.
-
Total kemampuan sektor pertambangan: 25-30 juta ton per tahun.
-
Tingkat utilisasi saat ini: Sekitar 40-50 persen dari kapasitas yang tersedia.
Realitas Sisi Permintaan
Sektor pemurnian alumina menghadapi tantangan operasional yang signifikan, dengan kapasitas saat ini jauh di bawah proyeksi awal. Kinerja operasional smelter belum mampu mengimbangi penyesuaian yang dilakukan oleh para penambang.
-
Kapasitas smelter operasional saat ini: 5,3 juta ton alumina (periode 2023-2024).
-
Kebutuhan bauksit setara: Sekitar 16,5 juta ton per tahun.
-
Proyeksi permintaan tahun 2025: 16,5-18,5 juta ton.
Tantangan Implementasi Proyek di Kalimantan
Analisis pasar mengidentifikasi tujuh proyek smelter alumina di Kalimantan menghadapi hambatan implementasi kritis, terutama terkait ketersediaan dana dan kepercayaan investor. Proyek-proyek yang terhambat ini antara lain PT Dinamika Sejahtera Mandiri, PT Laman Mining, dan PT Kalbar Bumi Perkasa. Hampir seluruh proyek ini mengalami kendala pendanaan yang serupa.
Dampaknya, terjadi penundaan kapasitas produksi alumina sekitar 9 juta ton per tahun, yang setara dengan potensi serapan bauksit sebesar 24 juta ton per tahun. Surplus pasokan ini menekan harga bauksit domestik, menggerus margin keuntungan perusahaan tambang, dan menyebabkan penumpukan inventori.
Pemerintah Genjot Hilirisasi Pertanian dan Perkebunan
Sementara sektor bauksit menghadapi tantangan, pemerintah justru berencana memperkuat hilirisasi komoditas pertanian dan perkebunan untuk meningkatkan nilai tambah dan devisa negara. Komoditas yang menjadi prioritas antara lain kelapa, gambir, dan kelapa sawit.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (9/10/2025), menyatakan bahwa Indonesia saat ini mengekspor 2,8 juta ton kelapa senilai sekitar Rp24 triliun (US$1,4 miliar) per tahun. Pemerintah menargetkan pengolahan kelapa menjadi turunan bernilai tinggi seperti santan dan minyak kelapa murni (VCO).
“Nilainya bisa meningkat 100 kali lipat. Rata-rata bisa menghasilkan Rp2.400 triliun. Jika kita ambil separuhnya saja, dikalikan 50, bisa menghasilkan devisa Rp1.200 triliun. Dan itu baru dari kelapa,” ujar Amran.
Selain kelapa, pemerintah juga menargetkan hilirisasi gambir. Saat ini, Indonesia memasok 80 persen kebutuhan gambir dunia, yang dapat diolah menjadi tinta pemilu, bahan campuran makan sirih, hingga sampo. Amran juga menekankan bahwa semua bahan mentah ekspor, termasuk minyak sawit mentah (CPO), harus diolah di dalam negeri.
“Terutama komoditas yang dikuasai pemerintah, seperti sawit, kita ingin olah dari tandan buah segar menjadi FAME atau biofuel, minyak goreng, margarin, atau mentega. Nilai tambahnya harus tetap di Indonesia,” katanya.
Untuk mendukung inisiatif ini, Kementerian Pertanian telah menyiapkan anggaran tambahan sebesar Rp9,95 triliun guna mempercepat proyek hilirisasi di sektor pertanian dan perkebunan. Dana tersebut akan digunakan untuk penyediaan bibit bagi petani, mencakup komoditas seperti kakao, kopi, kelapa, jambu mete, dan pala di lahan seluas 800.000 hektar.