Persaingan Industri Otomotif dan Baja Korea Selatan Melemah, Sektor Baterai Masih Tangguh di Pasar AS

Persaingan Industri Otomotif dan Baja Korea Selatan Melemah, Sektor Baterai Masih Tangguh di Pasar AS

Dampak Kesepakatan Tarif Korea-AS terhadap Ekspor

Kesepakatan tarif terbaru antara Korea Selatan dan Amerika Serikat diperkirakan akan mengubah lanskap daya saing antara Korea dan Jepang di pasar ekspor AS. Sektor otomotif—yang merupakan komoditas ekspor terbesar Korea ke Amerika—dan industri baja akan mengalami penurunan daya saing yang signifikan. Sementara itu, posisi Korea dalam industri baterai diperkirakan tetap kuat berkat ekspansi manufaktur lokal di AS.

Otomotif dan Baja Terpukul oleh Perubahan Tarif

Menurut laporan industri pada 4 Agustus, perusahaan otomotif Korea akan kehilangan keunggulan harga mereka di pasar Amerika. Dalam kerangka FTA Korea-AS, produk otomotif sebelumnya dibebaskan dari tarif, memberikan keuntungan 2,5% dibandingkan produk Jepang dan Uni Eropa. Namun, setelah kesepakatan tarif baru, kendaraan asal Korea dikenai tarif 15%, menghapus keunggulan tersebut.

Industri baja juga terpukul. Meski baik Korea maupun Jepang dikenai tarif 50%, Jepang memiliki keunggulan karena perusahaan mereka, Nippon Steel, telah mengakuisisi US Steel dan meningkatkan produksi di dalam negeri AS. Hal ini membuat posisi Korea dalam industri baja lebih lemah dibandingkan Jepang.

Sektor Baterai: Harapan Baru bagi Korea

Di sisi lain, sektor baterai Korea menunjukkan ketangguhan. Jepang, selain Panasonic, tidak memiliki banyak perusahaan besar dalam industri ini. Sebaliknya, Korea memiliki tiga raksasa—LG Energy Solution, Samsung SDI, dan SK On—yang telah bersiap dengan lini produksi di AS.

Dengan diberlakukannya kebijakan “One Big Beautiful Buy America Act (OBBBA)”, yang bertujuan membendung dominasi China dalam industri baterai, analis memperkirakan bahwa jika Korea bisa mempertahankan status “negara dengan perlakuan paling menguntungkan” (Most Favored Nation), perusahaan-perusahaan Korea justru bisa meningkatkan pangsa pasarnya di AS.

Persaingan di Industri Semikonduktor Masih Belum Jelas

Dampak kesepakatan tarif terhadap industri semikonduktor masih belum pasti. Korea unggul dalam produksi memori semikonduktor, sedangkan Jepang kuat di sektor semikonduktor non-memori dan peralatan semikonduktor. Namun, lebih dari kompetisi antara Korea dan Jepang, nasib Taiwan—yang memiliki TSMC—dan status tarif produk semikonduktornya akan sangat menentukan arah persaingan global ke depan.

FTA Korea-AS Kehilangan Daya Tarik

Sebagai negara yang sebelumnya menikmati hampir 99% pembebasan tarif berkat FTA Korea-AS, Korea kini menghadapi kenyataan pahit. Seorang ahli perdagangan yang tidak ingin disebutkan namanya menyatakan bahwa dunia kini memasuki era “perdagangan bilateral yang terkelola” alih-alih perdagangan bebas multilateral, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Trump. Ia menambahkan, hilangnya manfaat FTA dari mitra dagang utama seperti AS bisa mengurangi efektivitas keseluruhan jaringan FTA Korea.

Analisis Dampak terhadap Hyundai dan Prospek Saham

Kim Gwi-yeon, peneliti dari Daishin Securities, menyatakan bahwa penurunan tarif kendaraan Korea di AS dari 25% menjadi 15% akan meningkatkan laba operasional Hyundai. Ia memperkirakan laba tahun ini naik 10% (sekitar 1,2 triliun won) dibandingkan estimasi sebelumnya, dan proyeksi tahun depan meningkat hingga 26%.

Menurut Kim, penyesuaian ini mencerminkan dampak langsung pengurangan tarif sebesar 400 miliar won dan peningkatan volume ekspor model seperti Palisade (FMC) ke AS. Untuk tahun depan, penambahan lini produksi hybrid (HEV) oleh Hyundai Motor Group di Georgia serta peningkatan tingkat lokalisasi komponen juga akan memperkuat kemampuan perusahaan dalam mengatasi hambatan tarif.

Namun Tantangan Jangka Pendek Tetap Ada

Meskipun prospek jangka menengah cerah, Kim mencatat bahwa beban tarif tahun ini tetap akan menekan laba Hyundai. Ia memperkirakan penjualan otomotif Hyundai akan mencapai 144 triliun won—naik 6% dibandingkan tahun lalu—namun laba operasional diperkirakan turun 8% menjadi 9,7 triliun won, dengan margin keuntungan sekitar 6,7%.

Ia menambahkan bahwa pada kuartal ketiga, dampak tarif antarnegara akan terlihat lebih jelas, dan biaya komponen yang ditanggung pemasok di kuartal kedua juga akan mulai terbaca. Dengan meredanya ketidakpastian setelah tercapainya kesepakatan tarif pada kuartal kedua, ia memperkirakan prospek kinerja keuangan pada kuartal ketiga akan membaik.